APAKAH MANUSIA MEMILIKI KEBEBASAN?
— "Apakah manusia memiliki kebebasan?" adalah salah satu pertanyaan paling mendasar dalam ontologi sosial.
Lebih dari satu abad perkembangan ilmu sosial, ada kecenderungan yang menganggap bahwa manusia tidak pernah bebas. Malahan, manusia selalu ditekan oleh struktur yang berada "di atas" sana. Perkara hidup dan mati pun sangat dipengaruhi oleh faktor sosial (studi suicide Emile Durkheim).
Puncaknya, muncul istilah determinisme kultural (atau struktural) yang menjelaskan bahwa jati diri, tindak tanduk, dan masa depan seseorang sudah ditentukan oleh siapa ia di masyarakat: kelas sosial, gender, agama, ras, etnik, dan kebangsaan. Seorang anak yang lahir di keluarga miskin, kemungkinan besar akan tetap miskin ketika dewasa. Seorang siswa dari keluarga broken home akan seret prestasi di sekolah. Jalan hidup manusia ditentukan oleh lingkungan sekitarnya, dan setiap masalah sebenarnya adalah masalah struktural.
Determinisme kultural berkebalikan dengan determinisme natural, yang meyakini bahwa manusia ditentukan oleh kodrat biologisnya. Sifat-sifat pada anak adalah warisan genetik dari orang tuanya, bukan bentukan lingkungan. Sebuah bakat adalah pemberian alam, bukan lingkungan.
....
Pendapat yang agak baru dikeluarkan oleh Anthony Giddens: manusia adalah pencipta struktur sosial melalui tindakannya, sekaligus struktur tersebut kemudian menjadi penentu tindakan manusia itu sendiri, yang pada akhirnya memperkuat struktur yang telah ada melalui timbal balik. Proses ini akan terulang secara terus menerus.
Sebuah struktur tidak akan tercipta bila tidak ada tindakan sosial yang dilakukan oleh banyak orang secara berkesinambungan. Kebiasaan menyalahkan korban, menganggap pelecehan sebagai aib, menikahkan korban dengan pelaku, bertanya "mana link" di kolom komentar berita pelecehan, terlalu menghayati hentai sampai menganggap lawan jenis sebagai objek seks, dan pemujaan berlebihan terhadap dosen, guru, pemuka agama, dan pejabat adalah rupa-rupa tindakan sosial yang membentuk struktur timpang yang pada akhirnya "memperbolehkan" terjadinya pelecehan seksual.
Itu semua terjadi di tataran kesadaran praktis. Segala tindakan dilakukan tanpa pertimbangan mendalam, lebih merujuk pada kebiasaan dan dunia yang taken-for-granted.
Tapi, di sebelah kesadaran praktis, ada kesadaran diskursif yang membuat manusia mampu menghayati jati diri beserta tindakannya. Di sinilah terletak kebebasan kecil manusia. Habermas secara khusus menganggap kebebasan itu ada ketika manusia berkomunikasi.
Bila kesadaran diskursif itu menyebar (atau disebarkan), maka struktur yang ada akan melemah, dan terjadilah perubahan. Untuk itu pula, diperlukan agitasi dan propaganda.
Komentar
Posting Komentar